14/05/2025

dedysetyo.net

Berbagi Semangat, Menyebarkan Inspirasi..

Belajar Kehidupan dari Perjalanan

Ilustrasi pembelajar dalam perjalanan

Jika Anda merupakan penikmat buku-buku Tere Liye, bisa jadi sudah tidak asing lagi dengan karya beliau yang berjudul “Yang Telah Lama Pergi”. Saya awalnya mengira, bahwa ini adalah salah satu novel beliau dengan genre romansa. Setelah saya coba tuntaskan dalam beberapa kali duduk, mungkin benar bahwa ada unsur romansa ini, namun saya lebih bersepakat bahwa novel ini memeiliki genre historical action.

Cover Novel “Yang Telah Lama Pergi” karya Tere Liye

Kenapa demikian ?.

Dalam novel ini, Anda akan melihat satu tokoh bernama Mas’ud Al Bahgdadi. Tokoh ini merupakan orang yang beneran ada dalam dunia nyata dimasa lalu. Begitu membaca namanya, saya langsung googling dan mendapati bahwa “Mas’ud” pada namanya ternisbat pada sahabat Nabi SAW anak cucu dari sahabat yang bernama Ibnu Mas’ud, sementara “Baghdadi” merupakan asal beliau yakni Baghdad. Beliau pernah hidup pada masa abad ke-9 M.

Kiprah beliau yang luar biasa, dimulai dari perjalanan petualangan dari Persia, China, India dan bahkan sampai dengan Asia Tenggara. Salah satu buku beliau yang terkenal adalah Muruj Adz Dhahab (Padang Rumput Emas dan Tambang Batu Permata). Pada salah satu potongan halamannya bercerita tentang pulau sumatera, kerajaan Sriwijaya, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di nusantara pada rentang abad 7 sampai dengan 11 Masehi. Memiliki armada laut terhebat, pasukan dan senjata tercanggih pada zamannya. Dijalur perdagangan, Sriwijaya mengelola perdagangan di selat malaka dan selat sunda. Sebagai informasi, bahwa beliau juga termasuk ahli geografi dan Kartograf, yakni seorang pembuat peta dimasa itu dengan kecerdasan memory spasial yang luar biasa. Dalam novel bahkan digambarkan dalam sekali berkunjung dan melihat teluk, sungai, maka beliau akan sangat mudah menggambarnya menjadi peta yang amat detail.

See also  Pelatihan pengelolaan problem based learning

Melihat sekilas tokoh ini, maka kita akan ingat dengan Ibn Battutah, petualang muslim yang hidup pada abad ke-14. memiliki jejak perjalanan yang lebih jauh daripada Marcopolo. Setelah berperjalanan itulah, Ibn Battutah diminta menuliskan kisah-kisahnya kedalam buku yang berjudul “Ar-Rihlah Ibn Battutah“. Karyanya berisi kisah dari satu negeri ke negeri lainnya, berhasil memotret kondisi sosial masyarakat disana, dan menjadi referensi penting untuk para sosiolog dan antropolog yang melintas zaman.

Tanpa harus membanding-bandingkan keduanya, mereka adalah sosok inspiratif yang berhasil mendokumentasikan perjalanan dengan menulis catatan penting untuk generasi setelahnya.

Perjalanan sejatinya tidak hanya membuat fisik kita ada dibanyak tempat, namun mengajak kita juga untuk “memotret kehidupan” sekaligus “merekam diri”. Dua hal ini nampaknya agak sulit, jika kita hanya berada di rumah saja. bagaimana maksudnya ?.

Memotret kehidupan, berarti bahwa kita punya banyak lensa untuk melihat kemajemukan masyarakat diluar sana, ada yang sama dengan kita, ada juga yang berbeda dengan kita. Kalo kita ke suatu kota, maka kita akan bertemu dengan teman-teman yang mahir berbahasa daerah disana, adat dan tradisi yang memiliki keunikan antar daerah. Sekaligus belajar mempraktekkan “Dimana langit dijunjung disitu bumi dipijak”, yakni keterampilan menghargai norma dan keunikan kewilayahan diberbagai tempat. Darinya empati kita akan terasah, sekembalinya ke daerah kita, maka (diharapkan) kita akan lebih arif dan bijaksana dalam melihat heterogenitas.

Lalu merekam diri, adalah momentum reflektif dalam melihat diri sendiri. Kalo memotret kehidupan artinya melihat keluar, maka merekam diri artinya melihat ke dalam diri sendiri. Apa yang kita lihat ?.

Dalam kehidupan, tak banyak yang bisa melihat diri sendiri dari “kaca mata” diri sendiri. Benar, bahwa kita terampil melihat orang lain, melucuti kesalahan orang lain, namun keterampilan melihat diri sendiri ini yang tidak mudah.

See also  Resume buku "Mindset" yang ditulis Prof. Carol Dweck, Ph.D

Saat kita dalam perjalanan, lelah fisik, pegal-pegal, macet, capek, polusi, dompet menipis, dan berbagai kelelahan yang lainnya. Maka kita akan melihat “limit” diri kita sendiri sejatinya sudah sampai mana. Konon saat kita pada titik kelelahan yang maksimal, maka kita akan melihat diri kita sendiri lebih asli. Disanalah momen terbaik untuk kita bisa melihat diri kita sendiri lalu diperbaiki pada esok harinya.

Belum lagi kalau kita ketemu dengan orang asing, berbicara dengan mereka, handling situasi tidak menyenangkan, maka tak terasa level kita sudah naik sedikit demi sedikit. Kepercayaan diri makin baik dari pada sebelumnya.

Sukur-sukur jika belajar dari Mas’ud Al Baghdadi dan Ibn Battutah, maka oleh-oleh perjalanan panjang mereka dapat menjadi knowledge yang bermanfaat untuk sesama. Menjadi referensi yang tak terbatas usia. InsyaAllah akan menjadi bekal pahala menuju perjalanan panjang (berikutnya) bertemu Sang Maha hidup, di akhirat kelak.

Beberapa catatan perjalanan kami, salah satunya di Jepang, jika Anda berminat bisa juga dibaca ke https://dedysetyo.net/2023/05/28/belajar-keabadian-dari-negeri-samurai/

atau juga ke situs Republika https://analisis.republika.co.id/berita/rvaocj8425000/belajar-keabadian-dari-negeri-samurai?

Semoga bermanfaat.

Salam hangat,

Dedy Setyo Afrianto

Info Penting

Youtube Channel Dedy Setyo Afrianto

Akses Youtube Channel Dedy Setyo Afrianto untuk beragam informasi penting lainnya. Jangan lupa subscribelike dan komen.

See also  MENJADI PEMATERI "GOAL SETTING"

Tulisan lainnya: