Alhamdulillah, saat ini kita sudah berada di bulan Syawal. Setelah menyelesaikan puasa Ramadhan genap 30 hari, maka saat ini pula kita bertemu dengan bulan yang mulia lainnya. Secara bahasa, Syawal berarti “peningkatan” atau “naik”, jika boleh dikaitkan dengan Ramadhan, maka setelah kita belajar mengelola hawa nafsu, berlapar dahaga, berlelah berpayah dalam melawan hawa nafsu selama sebulan penuh, dilanjutkan dengan fase berikutnya yakni peningkatan diri. Peningkatan diri dalam hal apa ?, tentu saja menjadi pribadi yang lebih baik dibanding masa sebelumnya.
Saya seringkali mengibaratkan bulan Ramadhan, seperti kita “bermadrasah”, kita belajar banyak hal disana. Saatnya ketemu dengan hari raya Idul Fitri 1 Syawal, berarti kita merampungkan masa belajar kita lalu diwisudalah kita. Namun tidak seperti “madrasah” dalam pengertian biasa, madrasah ini istimewa. Jika madrasah lainnya harus diselesaikan pembelajarannya, lalu ada ujian akhir, lulus, lalu di wisuda. Maka madrasah ramadhan ini unik. Boleh jadi anda sudah diwisuda saat Ied tiba, namun justru ujiannya adalah setelah wisuda ini. Apakah ajaran saat Ramadhan bisa diimplementasi selepas bulan puasa, jika kita seorang pelajar, apakah kita saat mengerjakan ujian bisa dengan tanpa mencontek misalkan, kalau Anda sebagai pejabat, apakah bisa menahan diri untuk tidak korupsi dan penyalahgunaan jabatan ?. Dan beragam aktualisasi lainnya dalam wilayah pekerjaan masing-masing. Maka anggap saja, saat 1 Syawal kemarin adalah “Wisuda versi DP” saja, karena lunasnya nanti akan kita nikmati di akhirat kelak, amiin.
Saya teringat hadist Nabi SAW yang kurang lebih berbunyi
أَنَّ مُعَاوَدَةَ الصِّيَامِ بَعْدَ صَامَ رَمَضَانَ عَلاَمَةٌ عَلىَ قَبُولِ صَوْمِ رَمَضَانَ؛ فَإِنَّ اللّٰهَ تَعَالى إِذَا تَقَبَّلَ عَمَلَ عَبْدٍ وَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ بَعْدَهُ
“Memiliki kebiasaan berpuasa setelah puasa bulan Ramadhan (puasa bulan Syawal) merupakan tanda dari diterimanya puasa Ramadhan. Sebab Allah menerima amal seseorang bergantung pada amal shalih sesudahnya,” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaiful Ma’arif, [Riyadh, Dar Ibnu Khuzaimah: 2007], halaman 494).
Maka pada kalimat “Allah menerima amal seseorang bergantung pada amal shalih sesudahnya”, jika kita beramal shalih sesudahnya, semoga merupakan tanda bahwa amal kita diterima oleh Allah.
Bulan Syawal dalam Sejarah
Dalam kacamata sejarah versi Sirah Nabawiyah, bulan Syawal terdahulu memiliki peristiwa penting. Tercatat pada tahun ketiga hijriyah, tanggal 15 Syawal, meletus perang Uhud, dimana pasukan kaum muslimin yang berjumlah 700 orang, melawan 3000an orang musyrikin Quraish Mekah di bukit Uhud. Secara singkat, bahwa dalam peperangan tersebut walaupun dimasa awal sempat dimenangkan oleh kaum muslimin, namun pada masa-masa akhir keadaan berbalik karena pasukan kaum muslimin dipukul balik oleh pasukan Khalid bin Walid (yang saat itu belum masuk Islam). Bahkan Rasulullah SAW sempat terluka dengan patahnya gigi taring beliau dan darah mengalir diatas wajah beliau yang mulia.
Pasukan kaum muslimin pada tim pemanah yang semula mendapatkan instruksi untuk tetap berjaga dan tidak meninggalkan tempat sampai peperangan selesai, malah kocar kacir dan tercerai berai dikarenakan melihat ghonimah (harta rampasan perang) yang sempat ditinggalkan oleh pasukan musuh. Akibat dari kejadian ini, maka menjadi sasaran empuk pasukan Khalid yang berputar mengitari bukit Uhud.
Peristiwa pada bukit Uhud ini juga memberikan hikmah kepada kita, diantaranya adalah betapa pentingnya : ketaatan dalam menerima perintah Rasulullah, kesabaran dalam godaan duniawi, sekaligus kedisiplinan dalam bertindak.
Maka kedisiplinan dalam bulan syawal ini, paling tidak adalah mengamalkan apa yang menjadi perilaku kita selama bulan Ramadhan yang lalu, untuk kemudian dapat kita internalisasi menjadi amalan rutin kita pada bulan Syawal ini, dan bulan-bulan berikutnya. Sebutlah saja, kebiasaan baik saat Ramadhan lalu adalah bangun disepertiga malam terakhir, sholat malam (qiyamul layl), memperbanyak sholat sunnah, sholat dhuha di pagi hari, tilawatil Quran, shodaqoh, dan berbagai amalan lainnya. Maka dibulan Syawal ini berapa banyak diantara amalan-amalan ini yang masih kita lakukan dan pelihara hingga sekarang. Jika semua masih berjalan, maka kabar baik untuk kita, jika belum, maka teguhkan diri kita untuk memperbaiki diri.
Jika Ramadhan adalah “peristiwa” yang telah melewati kita, jejaknya sudah meninggalkan kita disini, pertanyaannya, apakah kita bisa mengejarnya ?, energi seperti apa yang membuat kita mampu berlari sehingga bisa mengikuti langkahnya ?. Pertanyaan bersama untuk kita.
Semoga Allah SWT berikan kita keistiqomahan untuk selalu menjaga amal-amal terbaik kita di bulan Ramadhan. Amiin ya robbal Alamiin.
Waallahu alam bisshowab.
Salam hangat,
Dedy Setyo Afrianto
Info Penting

Akses Youtube Channel Dedy Setyo Afrianto untuk beragam informasi penting lainnya. Jangan lupa subscribe, like dan komen.
More Stories
Belajar Kehidupan dari Perjalanan
Cendekia Sebagai Cahaya
Hari Guru Nasional; Tantangan dan Harapan