12/03/2025

dedysetyo.net

Berbagi Semangat, Menyebarkan Inspirasi..

Memahami The Nova Effect

Peristiwa di Subway Tokyo

Pada akhir Oktober 2021 yang lalu, ada tragedi mengerikan yang terjadi di kota Tokyo Jepang, peristiwa itu membuat banyak orang yang menjadi penumpang pada kereta subway bawah tanah sangat histeris dan terteror dengan kondisi yang ada.

Namanya Kyita Hattori, dia merupakan pria 24 tahun penyebab kenapa kegemparan Itu terjadi. Dengan alasan depresi yang sangat mendalam dan terinspirasi dari kisah cerita Joker pada film Hollywood, seolah-olah menjadi klaim pembenaran untuk dia melakukan kejahatan itu. Hattori melukai 17 orang penumpang pada kereta itu, sekaligus membakar gerbong kereta yang mengakibatkan kekacauan di sana. Setelah melakukan kejadian itu, Hattori duduk santai sembari menghisap rokoknya, menyembunyikan pisaunya dan menunggu polisi datang untuk ditangkap.

Kyota Hattori terinspirasi dari Film Joker. Sumber : kompas.com

Setelah melalui proses penyelidikan, terungkap bahwa Hattori merupakan gambaran salah satu orang yang yang merasa gagal dalam kehidupan pribadinya, keluarga dan karirnya. Alih-alih berusaha untuk memperbaiki kehidupannya yang berantakan, dia malah berusaha untuk mati dengan cara melukai orang lain, dengan alasan bahwa dengan membunuh orang-orang yang ada di gerbong kereta itu, maka dia akan bisa dikenakan hukuman mati oleh pengadilan Jepang.

Merasa menjadi korban

Orang-orang yang sering merasa menjadi korban dalam kehidupannya, seolah-olah mengatakan bahwa dia adalah objek dari segala kejadian yang ada disekitarnya. Padahal sebagai manusia yang telah bisa dikatakan dewasa, seharusnya pilihan-pilihan yang ada di dalam fase kehidupannya menjadi beragam dan banyak opsi. Orang yang sudah pada tahapan umur demikian, sebenarnya memiliki cukup banyak pilihan untuk melakukan sesuatu, memilih jalur kehidupan yang lebih sesuai untuk dirinya, sekaligus bertanggung jawab terhadap implikasi dari pilihannya itu.

See also  Muhammad Yunus: Sang Pembuka Jalan

Kehendak bebas dalam setiap kehidupan kita pada dasarnya di ujung sana selalu mengakibatkan implikasi, baik yang kita rasakan sebagai sebuah keberuntungan atau rasa sebaliknya dalam kehidupan kita.

Namun jika ada satu peristiwa yang menimpa kita pada suatu hari, maka sebaiknya tidak terburu-buru kita menyimpulkan bahwa hal itu adalah kejadian buruk yang menimpa kita. Sebagai contoh jika anda sebagai seorang pelajar, mendapatkan nilai merah dari sebuah ulangan, Anda dihadapkan pada dua perspektif. Perspektif pertama itu adalah sebuah kesialan, namun disisi yang lain itu adalah kesempatan untuk bisa belajar lebih banyak. Jika suatu hari kita kejatuhan mangga dari pohon tetangga sebelah, jangan terlalu cepat berpikir bahwa itu adalah kesialan, karena bisa jadi tetangga anda akan menyiapkan bingkisan buah mangganya untuk anda dan keluarga. Karena sejatinya dari suatu kejadian singkat itu, kita seyogyanya tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan tentang apa yang terjadi.

The Nova Effect dan Perspektif Individu

Ada satu gambaran yang lebih menjelaskan tentang hal ini, namanya The Nova Effect. The Nova Effect menerangkan tentang perspektif luas bahwa sebaiknya kita tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan atas suatu peristiwa yang terjadi pada kita.

The Nova effect dimulai dari kisah seorang pria bernama Erik, Erik ini memiliki peliharaan anjing yang bernama Nova, pada suatu hari Erik berjalan-jalan dengan Nova untuk menikmati udara sekitar komplek perumahannya. Namun, ada seekor kelinci yang tiba-tiba menghampiri, mengganggu anjingnya itu, sehingga anjingnya mengejar kelinci tadi sampai dengan di suatu tempat yang Eric tidak tahu. Setelah berusaha mencari di sana-sini, Erik akhirnya menyimpulkan bahwa anjingnya yang bernama Nova itu hilang. Ada satu kalimat yang keluar dari bibir Erik yakni, “jika aku dan Nova tidak jalan-jalan sekarang, maka Nova tidak akan hilang“.

Anggap saja ini diatas ini adalah kalimat pertama.

Seiring dengan berjalannya waktu, sebulan setelah kejadian itu, tiba-tiba ada seorang wanita yang mengetuk pintu rumah Erik sambil membawa seekor anjing. Wanita itu menanyakan,” Apakah ini anjing Anda yang hilang dulu?”, Erik mengiyakan. Dia berterima kasih kepada wanita itu, dan dia juga tahu bahwa akhirnya namanya adalah Vanessa. Erik bersyukur bahwa Vanessa telah menemukan anjingnya yang telah lama hilang. Singkat cerita, Erik pada akhirnya berhubungan lebih dekat dengan Vanessa dan memiliki relasi spesial dengannya. Erik berseloroh, “jika Nova tidak hilang maka aku tidak akan berkenalan dengan Vanessa “.

See also  Narasumber Pembuatan Video Pembelajaran dengan AI

Ini adalah kalimat kedua dari Erik.

Suatu waktu, Erik ingin bertemu dengan Vanessa di suatu tempat, Erik mengendarai mobilnya sendiri melintasi kota dimana dia tinggal. Entah saat itu Erik sedang tidak fokus atau sedang memikirkan hal yang lain, terjadi insiden kecelakaan yang mengakibatkan mobil Erik bertabrakan dengan truk yang melintas di jalan itu. Karena cidera berat, Erik harus dirawat di rumah sakit. Dalam proses recovery nya, Erik merasa menyesal kenapa dia menyetir mobilnya sendiri waktu itu. Erik kesal, sambil gusar dengan berkata, “kalau aku tidak menyetir waktu itu, Aku tidak akan kecelakaan“.

Kita anggap ini adalah kalimat ketiga dari Erik.

Sebelum cerita saya lanjutkan, coba anda amati bagaimana kalimat pertama Erik sebelumnya dengan kalimat kedua sangat kontradiktif, begitu juga dengan kalimat ketiganya. Kalimat pertama Erik, dia merasakan sebagai korban yang mengalami rasa sial. Namun di kalimat kedua dan ketiga, perasaan itu hilang dan muncul dalam waktu yang tidak terlalu jauh.

Baik cerita kita lanjutkan. Ketika berada di rumah sakit, dokter yang memeriksa Erik menghampiri Erik yang sedang berada di atas kasur. Sambil mengatakan bahwa Erik “Aku adalah doktermu, aku sekarang membawa 2 kabar untukmu, 1 kabar baik dan 1 kabar buruk, mana yang akan engkau pilih pertama kali untuk saya sampaikan ?”.

Erik mengatakan kalau begitu kabar yang buruk dulu. Sang dokter mengabarkan bahwa saat Erik pingsan, dokter dan tim medis sudah melakukan CT scan pada otaknya. Hasil dari CT Scan itu adalah adanya tumor di dalam otak Erik. Erik merasa sedih saat dikabarkan hal itu. Erik bertanya, “lalu apa kabar baik untukku ?”, sang dokter menjawab, bahwa kabar baik mu adalah adanya tumor yang berada di otakmu.

See also  Romantisme Remaja Penggerak Perubahan

Bagaimana bisa tanya Erik. “Iya, tumor yang ada di otakmu itu adalah kabar buruk sekaligus kabar baik”.

“Dimana kabar baiknya ?”,

“Karena ada scan itu, kita tim medis bisa mendeteksi adanya tumor yang baru tumbuh di dalam otakmu sehingga itu lebih mudah untuk dilakukan penanganan dan kamu bisa lebih cepat sembuh, daripada jika tumor otak yang ada di kepalamu itu sudah membesar”.

Erik merasa bersyukur diatas kesedihannya, sehingga dia mengucapkan “jika aku tidak kecelakaan, mungkin tidak akan ketahuan tumor otak yang ada di kepalaku“.

Ini adalah kalimat keempat dari Erik.

Kalau kita urai kembali, dari kalimat pertama dan kedua Erik mereka saling kontradiktif, begitu juga dengan kalimat ketiga dan keempat nya Erik.

Menginterpretasikan kejadian terlalu cepat itulah yang dinamakan fenomena Nova Effect. Seringkali, sesuatu yang kita anggap nasib buruk sebenarnya adalah nasib baik. Kita tidak pernah tahu semesta akan membawa kita ke mana.

Sebagai manusia biasa, Erik atau kita sebenarnya memiliki pengetahuan yang sangat sedikit terkait dengan hal-hal yang menimpa, banyak dan bahkan terlalu banyak hal-hal yang terjadi dan belum terjadi depan sana yang belum kita ketahui.

Lalu bagaimana kita sebaiknya memandang hal ini ?

1. Apakah ini adalah berita buruk atau sebaliknya, memang pengetahuan kita sangat sedikit atasnya.

Namun sebagai manusia yang beriman, cara terbaik untuk melihat hal ini adalah dengan berprasangka baik kepada Allah SWT. Berprasangka baik, akan menguatkan mentalitas kita kepada apa yang belum terjadi didepan sana, meng-endorse energi positif sekaligus menguatkan usaha-usaha yang berkenaan dengan itu. Cara termudah berprasangka positif kepada Allah SWT, adalah dengan berdoa dan mengelola lisan kita untuk mengucapkan hal-hal terbaik.

2. Mengelola Overthinking,

merupakan fenomena yang sudah sejak lama ada, namun exist lagi saat masa pandemi ini. Memikirkan hal-hal yang berada diluar kendali kita, akan mengakibatkan rasa stress berlebihan, yang akhirnya berdampak kurang baik pada mentalitas dan fisik kita. Sebaiknya fokuskan energi kita pada wilayah atau lingkaran yang berada dalam kendali kita. Lebih lengkapnya, Anda bisa juga membaca pada tulisan ini atau itu.

Video berikut juga berkaitan dengan topik yang dibahas, silakan jika akan singgah untuk teman2 sekalian.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

Salam hangat,

 

Dedy Setyo Afrianto