A. Studi Kasus
Facebook: Mengubah Misi Kami untuk Meningkatkan Etika dan Integritas
Tahun 2018, CEO Facebook Mark Zuckerberg sedang menjalankan misi untuk “memperbaiki masalah etika Facebook.” Zuckerberg mengatakan perusahaannya “telah membuat terlalu banyak kesalahan dalam mencegah penyalahgunaan alat kami,” dan “tantangan pribadi saya untuk 2018 adalah fokus memperbaiki masalah etika Facebook.” Lebih dari 2 miliar orang kini masuk ke Facebook setiap bulan. Perusahaan ini dituding membiarkan konten bermasalah, berita palsu (fake news), dan semakin sering dikritik sebagai pelanggaran privasi pribadi.
Pada Juni 2017, Facebook secara resmi mengubah misinya dari “membuat dunia lebih terbuka dan terhubung” menjadi “memberikan orang kekuatan untuk membangun komunitas dan membawa dunia lebih dekat bersama.” Saat mengumumkan misi baru perusahaan, Zuckerberg, orang terkaya kelima di dunia, mengatakan bahwa “memberikan orang suara dan membantu mereka terhubung saja tidak cukup untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik.”
Dengan perubahan misi ini, Facebook mulai menurunkan ribuan foto “revenge porn” dan video yang tidak pantas. Perusahaan ini melipatgandakan anggarannya untuk keamanan, guna menyaring pengguna bermasalah, meski lebih dari 60 juta pengguna baru aktif setiap bulan bergabung ke situs ini. Facebook diperkirakan akan mencapai lebih dari 3 miliar pengguna pada akhir 2018.
Sebagai situs jejaring sosial terbesar di dunia, Facebook menghadapi kritik yang meningkat dari para pembuat kebijakan karena tidak memantau konten gelap, pengguna bermasalah, misinformasi, propaganda, dan video kekerasan. Perubahan misi perusahaan mendorong peningkatan jumlah karyawan dan kontraktor yang menangani isu keselamatan dan keamanan, dari 10 ribu menjadi 20 ribu pada akhir 2018.
Sebagai bagian dari misi barunya, Zuckerberg secara terbuka berjanji menyumbangkan 99 persen kekayaannya. Ia menyatakan pada Facebook Communities Summit tahun 2017: “kita harus membangun dunia di mana kita peduli pada seorang anak di India, China, Nigeria, atau Meksiko sama besarnya dengan kita peduli pada seorang anak di Amerika.”
Fokus misi baru Facebook adalah membangun jejaring sosial global di mana teman-teman saling menjaga satu sama lain.
📌 Sumber asli:
- Deepa Seetharaman, “Zuckerberg Vows to Work on Fixing Facebook,” Wall Street Journal (5 Januari 2018).
- Deepa Seetharaman, “Facebook Vows to Sacrifice Growth for Secure Operations,” Wall Street Journal (2 November 2017).
- Valentina Zarya, “Facebook’s Secret Weapon,” Fortune (1 Agustus 2017).
B. Pertanyaan
- Apa yang dialami Facebook sehingga dianggap sebagai masalah organisasi ?
- Bagaimana Facebook melakukan mitigasi problematika yang berhubungan dengan organisasinya ?
Link jawaban (batas pengerjaan 7 Oktober 2025. Jam 10.00 WIB) : https://classroom.google.com/c/ODA4NDMzMDgzNjg2/sa/ODExMTY2Njk3NTg1/details
C. Bahan Bacaan Materi Kuliah Pertemuan 2. (Pre Meeting)
Manajemen strategis bukan sekadar membuat rencana jangka panjang, tetapi sebuah proses berkelanjutan untuk memastikan organisasi berjalan menuju tujuan yang benar, dengan cara yang efektif dan beretika. Menurut Fred R. David (2020), proses strategis terdiri dari tiga tahap utama: formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi.
Setiap tahap saling terhubung dan menjawab tiga pertanyaan dasar:
-
Where are we now? – di mana posisi kita sekarang?
-
Where do we want to go? – ke mana arah yang ingin kita capai?
-
How do we get there? – bagaimana cara kita mencapainya?
1. Where are we now? – Analisis Posisi Awal
Tahap pertama adalah memahami posisi organisasi secara obyektif. Ini melibatkan analisis lingkungan internal dan eksternal.
-
Internal: kekuatan dan kelemahan (struktur organisasi, SDM, keuangan, fasilitas, reputasi).
-
Eksternal: peluang dan ancaman (tren sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan pesaing).
Alat bantu seperti IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation) membantu menilai dua sisi ini secara sistematis.
Bagi lembaga pendidikan Islam, tahap ini berarti mengenali kapasitas sekolah: apakah memiliki guru yang kompeten, teknologi yang memadai, serta bagaimana posisi dibandingkan lembaga lain.
2. Where do we want to go? – Menentukan Arah Strategis
Tahap kedua adalah merumuskan visi, misi, dan tujuan strategis.
David menekankan bahwa visi menjawab “apa yang ingin kita jadi” dan misi menjawab “apa yang kita lakukan dan untuk siapa”.
Dalam bukunya, ia memberi contoh Facebook yang mengubah misi dari sekadar “membuat dunia lebih terbuka dan terhubung” menjadi “memberi kekuatan untuk membangun komunitas dan mendekatkan dunia.”
Perubahan misi ini bukan hanya perubahan kata, melainkan pergeseran nilai dari sekadar pertumbuhan pengguna menjadi tanggung jawab etika.
Demikian pula, lembaga pendidikan Islam perlu memiliki misi yang tidak hanya berbunyi ideal, tetapi juga menjawab tuntutan zaman: digitalisasi, nilai moral, dan daya saing global.
3. How do we get there? – Strategi dan Implementasi
Tahap ketiga adalah menerjemahkan arah menjadi aksi nyata.
David menjelaskan bahwa strategi yang baik harus dijalankan melalui:
-
Struktur organisasi yang mendukung;
-
Kepemimpinan yang komunikatif;
-
Alokasi sumber daya yang tepat;
-
Kebijakan internal yang memperkuat budaya organisasi.
Dalam konteks pendidikan Islam, implementasi berarti menerjemahkan visi-misi ke kebijakan operasional: kurikulum integratif, pelatihan guru, penguatan literasi digital, dan kerjasama dengan lembaga lain.
4. Evaluasi Strategi: Apakah Kita di Jalur yang Benar?
Evaluasi adalah tahap pengendalian dan pembelajaran.
Organisasi harus mengukur kinerja terhadap tujuan, melakukan monitoring, dan menyesuaikan strategi bila diperlukan.
Alat seperti Balanced Scorecard (BSC) atau Key Performance Indicators (KPI) dapat digunakan untuk menilai efektivitas strategi.
Evaluasi dalam pendidikan Islam dapat berupa pengukuran mutu lulusan, efektivitas pembelajaran, tingkat partisipasi siswa, atau kepercayaan masyarakat terhadap lembaga.
5. Corporate Governance dan Etika Strategi
Sejalan dengan Wheelen & Hunger (2018), proses strategi yang baik harus dijalankan dalam kerangka tata kelola (governance) yang beretika.
Kepemimpinan strategis tidak hanya menentukan arah, tetapi juga bertanggung jawab menjaga nilai moral, transparansi, dan akuntabilitas.
Dalam konteks pendidikan Islam, ini sejalan dengan prinsip amanah dan maslahah: strategi harus membawa manfaat nyata dan menghindari penyimpangan etika.
Kesimpulan
Proses strategi ala David bukan sekadar langkah administratif, melainkan kerangka berpikir menyeluruh yang menuntun organisasi menjawab tiga pertanyaan penting:
-
Di mana kita sekarang,
-
Ke mana kita akan pergi, dan
-
Bagaimana kita sampai ke sana.
Ketika ketiga tahap ini dijalankan secara disiplin dan berlandaskan nilai, lembaga pendidikan Islam tidak hanya menjadi organisasi yang efektif, tetapi juga berintegritas, adaptif, dan berorientasi pada kemaslahatan.
📚 Referensi
-
David, F. R., & David, F. R. (2020). Strategic management: Concepts and cases (16th ed.). Pearson Education.
-
Wheelen, T. L., Hunger, J. D., Hoffman, A. N., & Bamford, C. E. (2018). Strategic management and business policy: Globalization, innovation, and sustainability (15th ed.). Pearson Education.
-
Fattah, N. (2017). Manajemen strategik pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.