Melanjutkan empat komponen CTL sebelumnya, bahasan di bawah ini menguraikan tentang komponen berikutnya. Selamat membaca !.
5. Pemodelan (Modelling)
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model, model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, model juga dapat didatangkan dari luar. Pemodelan artinya, dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang biasa ditiru. Misalnya, guru memperagakan bagaimana prosedur dalam penggunan alat tertentu seperti alat musik, alat praktik laboratorium, cara kerja mesin dan lain-lain. Dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan misalnya, guru bersama siswa memperagakan bagaimana cara partai politik dalam berupaya mendapatkan dukungan massa, bagaimana prosedur pengadilan dalam menyelesaikan kasus pidana dan sebagainya.
Dengan pemodelan maka akan terhindar dari pembelajaran yang cenderung teoritis-abstrak sehingga terjadi verbalisme. Pemodelan bisa juga dilakukan oleh siswa yang mempuyai kemampuan yang lebih dibandingkan dengan temannya. Seperti memperagakan cara kerja suatu alat sebagai hasil karya ilmiah, membacakan cerpen ataupun puisi di depan teman-temannya. Dengan demikian pemodelan menjadikan belajar lebih bermakna sebab siswa diajak seperti menghadapi situasi yang sebenarnya sering ditemukan dalam kenyataan hidup sehari-hari.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang telah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan refleksi maka siswa akan menyadari tujuan belajar mereka. Siswa secara mandiri akan mengikuti rencana belajar serta mengukur kemajuan diri sendiri dalam pembelajaran. Selain itu, siswa akan menyadari tentang kemampuan akademik apa yang sudah dikuasai dan pengetahuan belum didapatkannya. Dengan demikian dia akan terus menerus melakukan evaluasi baik rencana maupun target, serta pengalaman belajarnya.
7. Mencapai Standar Akademik yang Tinggi
Setiap orang tua tentu menginginkan anak-anak mereka sukses dalam pendidikannya. Namun, penguasaan materi yang bersifat hafalan (baca: tumpukan informasi tanpa makna) yang didapat dari kelas-kelas kovensional berdampak pada ketidakmampuan siswa dalam menjawab tantangan perubahan jaman di abad teknologi saat ini. Ada kesenjangan yang luar biasa antara belajar untuk mengetahui (learning to know) dengan belajar untuk melakukan (learning to do). Laporran dari SCANS (dalam B. Johnson: 2009 : 263) menyarankan agar keduanya tidak dipisahkan.
Standar akademik, sering disebut standar muatan adalah apa-apa yang harus diketahui dan dikuasai oleh siswa setelah menyelesaikan sebuah tugas, kegiatan, tugas praktik, atau setelah duduk di kelas tertentu. Kata “standar” memiliki arti yang sama dengan “tujuan”, ‘kompetensi”, “tujuan akademik”, dan “hasil”. (B. Johnson: 2009:261). CTL menghendaki para siswa mencapai standar tinggi. Jika sekolah standar akademik tinggi maka siswa dituntut untuk bekerja keras dan lebih kompetitif. Dengan demikian akan membuat siswa merasa lebih percaya diri untuk memilih masa depan. Standar unggul kompetensi lulusan sekolah harus terus ditingkatkan. Untuk itu sekolah perlu melakukan uji mutu misalnya dengan melakukan studi banding ke berbagai sekolah dalamdan luar negeri.
8. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Menilai peserta didik yang hanya berasal dari hasil tes formatif maupun sumatif sangat tidak memadai. Penilaian semacam itu tidak memberikan informasi serta gambaran yang utuh tentang kompetensi peserta didik. Penilaian demikian hanya bertujuan untuk mengetahui apakah suatu program pendidikan, pengajaran, ataupun pelatihan telah dikuasai oleh siswa atau belum. Angka atau nilai tertentu biasanya dijadikan passing grade (patokan) untuk menentukan penguasaan program tersebut. Jika melampau passing grade yang telah ditetapkan, maka siswa tersebut dinyatakan lulus, dan sebaliknya. Penilaian demikian sangat bersifat parsial, sebab penentuan kelulusan (baca: keberhasilan) siswa hanya berdasarkan nilai akhir ujian akhir.
Model pembelajaran CTL menggunakan penilaian otentik (Authentic Assessment). Penilaian otentik merupakan bentuk penilaian yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Penilaian ini dilakuan secara menyeluruh yang meliputi proses dan hasil pertumbuhan dan perkembangan wawasan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dicapai oleh warga belajar (Budimansyah, 2002 : 106). Dalam pembelajaran CTL, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Elaine B. Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar.
Penilaian otentik menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung secra terpadu dan kontekstual, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk maju terus sesuai potensi yang dimiliki. Brooks&Brooks (dalam B. Johnson, 2002: 172), menegaskan bahwa bentuk penilaian seperti ini lebih baik daripada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portofolio, tugas kelompok (proyek), demonstrasi (show case), dan laporan tertulis.
Referensi :
- B. Johnson, Elaine, 2009, Contextual Teaching & Learning; Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Penerbit MLC, Bandung.
- Budimansyah, Dasim, 2002, Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio, PT. Genesindo, Bandung.
- Depdiknas, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional, Depdiknas, Jakarta.
- Deporter, Bobbi & Mike Hernacki, 2001, Quantum Learning; Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Penerbit Kaifa, Bandung.
- Dryden, Gordon, Jeannette Vos, 2002, Revolusi Cara Belajar; Belajar akan Efektif kalau Anda dalam Keadaan ‘Fun”, Bagian II Sekolah Masa Depan, Penerbit Kaifa, Bandung.
- Hamalik, Oemar, 2004, Proses Belajar Mengajar, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
- Hayyie al Kattani, Abdul, Rekayasa Masa Depan Islam
- Dengan Revitalisasi Warisan Klasik Islam (Turats) Sebagai Ilustrasi, 2002, pcinu-mesir.tripod.com
- Indrati, Yuke, 2009, Pembelajaran Tematik Kelas Awal SD, puskur.net
- Indrawati, 2009, Model Pembelajaran Terpadu di Sekolah Dasar untuk Guru SD, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA)
- Isjoni, 2009, Efektifitas Model Pembelajaran Cooperative Learning, xpresiriau.com
- Isjoni, 2010, Mengapa Pembelajaran Kontekstual, xpresiriau.com
- Isjoni, 2010, Pembelajaran Konstektual dan Motivasi Siswa, xpresiriau.com
- Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi –lampiran
- Sanjaya, Wina, 2009, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Kencana, Jakarta.
- Sudarmiatin, 2009, Entrepreneurship dan Metode Pembelajarannya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Jurnal Ekonomi Bisnis, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
- Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Warpala, I Wayan Sukra, 2009, Pendekatan Pembelajaran Konvensional, edukasi.kompasiana.com
- Warsita, Bambang, 2008, Teknologi Pembelajaran; Landasan & Aplikasinya, PT. Rinela Cipta, Jakarta.
More Stories
Merakit Kata Menyambung Makna
Cendekia Sebagai Cahaya
Hari Guru Nasional; Tantangan dan Harapan